Secara akuntansi dan hukum fiskal, utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak dimasukkan ke dalam Utang Pemerintah (Utang Negara) karena beberapa alasan mendasar, yang berakar pada perbedaan status hukum dan mekanisme tanggung jawab pembayaran.
Berikut penjelasan mengapa utang BUMN dipisahkan dari Utang Pemerintah:
1. Perbedaan Entitas Hukum dan Laporan Keuangan
Pemerintah (Pusat): Diatur oleh Undang-Undang Keuangan Negara. Utangnya dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Utang ini dijamin oleh negara dan dibayar menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang berasal dari pajak dan penerimaan negara lainnya.
BUMN (Perseroan/Perum): BUMN adalah Badan Usaha yang berstatus entitas hukum yang terpisah dari negara (meskipun negara adalah pemilik modal). Utangnya dicatat dalam Laporan Keuangan Perusahaan masing-masing BUMN. Pembayarannya berasal dari pendapatan bisnis BUMN dari penjualan barang dan jasa, bukan dari APBN.
2. Prinsip Tanggung Jawab Pembayaran (Business to Business / B2B)
Utang BUMN (misalnya pinjaman dari bank komersial atau penerbitan obligasi korporasi) dilakukan atas nama BUMN itu sendiri, dan bukan atas nama negara.
Utang Pemerintah: Tanggung jawab pembayaran mutlak oleh Pemerintah (melalui APBN).
Utang BUMN: Tanggung jawab pembayaran mandiri oleh BUMN yang bersangkutan (melalui pendapatan usaha). Kegagalan bayar (default) utang BUMN seharusnya tidak serta merta menjadi beban APBN, kecuali ada jaminan spesifik dari pemerintah.
3. Utang BUMN Bersifat Produktif dan Komersial
Utang yang ditarik BUMN, khususnya BUMN Karya, Perbankan, atau Energi, umumnya bertujuan untuk membiayai proyek yang diharapkan akan menghasilkan pendapatan di masa depan.
Contoh: PT Kereta Api Indonesia (Persero) berutang untuk Proyek Kereta Cepat. Pinjaman ini diharapkan akan dilunasi dari pendapatan tiket dan layanan kereta cepat, bukan dari dana pajak.
Liabilitas Kontinjensi (Contingent Liability)
Meskipun utang BUMN tidak dimasukkan dalam Utang Pemerintah, ada risiko yang terkait dan dikenal sebagai Liabilitas Kontinjensi. Liabilitas kontinjensi adalah potensi utang pemerintah di masa depan yang akan timbul jika suatu peristiwa tertentu terjadi—dalam hal ini, jika BUMN yang diberi jaminan oleh pemerintah mengalami gagal bayar.
Contoh: Jika Pemerintah (Kementerian Keuangan) memberikan jaminan atas pinjaman BUMN, maka utang tersebut akan menjadi beban APBN hanya jika BUMN tersebut benar-benar tidak mampu membayar (gagal bayar).
Implikasi: Liabilitas kontinjensi inilah yang membuat utang BUMN tetap harus dipantau ketat, karena dapat memengaruhi kesehatan fiskal negara secara keseluruhan, meskipun tidak dihitung dalam rasio Debt-to-GDP resmi saat ini.
Contoh Kasus Utang BUMN sebagai Liabilitas Kontinjensi
Liabilitas kontinjensi yang paling relevan dengan utang BUMN adalah melalui Pemberian Jaminan Pemerintah. BUMN A mengambil pinjaman sebesar USD 1 Miliar dari bank internasional untuk membangun proyek. Karena pinjaman ini berisiko tinggi atau bernilai strategis, Pemerintah (Kementerian Keuangan) memberikan jaminan penuh. Selama BUMN A mampu membayar cicilan dan bunga tepat waktu, utang USD 1 Miliar tersebut TIDAK dicatat sebagai utang pemerintah. Statusnya hanya Liabilitas Kontinjensi. Jika BUMN A mengalami kerugian parah dan gagal bayar, maka pihak bank akan menagih kepada penjamin, yaitu Pemerintah. Pada saat itulah, utang USD 1 Miliar tersebut berubah status dan dicatat sebagai Utang Pemerintah yang harus dibayar menggunakan APBN.
Meskipun Utang BUMN tidak dimasukkan ke Utang Pemerintah untuk menjaga akuntabilitas korporasi, keberadaan Liabilitas Kontinjensi mengharuskan pemerintah untuk tetap mengelola risiko BUMN secara ketat. Liabilitas kontinjensi mencerminkan risiko utang yang tersembunyi yang sewaktu-waktu bisa “meledak” dan membebani APBN.
Singkatnya, pemisahan ini dilakukan untuk menjaga disiplin fiskal dan menunjukkan bahwa APBN terpisah dari risiko bisnis korporasi BUMN.
Ada beberapa kasus atau skema di mana utang BUMN, secara tidak langsung atau melalui mekanisme tertentu, pada akhirnya dapat membebani atau menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Berikut dua mekanisme utama yang menyebabkan utang BUMN ‘bergeser’ menjadi beban APBN, atau setidaknya memengaruhi kesehatan fiskal negara:
1. Melalui Mekanisme Penyertaan Modal Negara (PMN)
Ini adalah cara yang paling umum digunakan pemerintah untuk membantu BUMN yang kesulitan likuiditas, termasuk untuk menyelesaikan kewajiban utang.
Apa itu PMN? PMN adalah suntikan dana segar dari APBN ke BUMN dalam rangka menambah modal atau ekuitas perusahaan. Secara teknis, ini bukan “membayar utang BUMN,” melainkan meningkatkan modal BUMN agar perusahaan tersebut memiliki dana yang cukup untuk membayar utangnya sendiri.
Contoh Kasus:
BUMN Karya: Ketika BUMN konstruksi (Karya) mendapat penugasan besar-besaran untuk proyek infrastruktur (seperti jalan tol, bandara, atau kereta cepat) dan mengalami kesulitan cash flow (aliran kas) untuk membayar bunga dan cicilan utang, pemerintah dapat menyuntikkan PMN.
Tujuan PMN: Walaupun tujuan resmi PMN biasanya untuk mendukung penugasan pemerintah atau perbaikan bisnis, kritik sering muncul bahwa sebagian dana PMN secara efektif digunakan untuk menalangi kewajiban utang yang jatuh tempo.
Dampak ke APBN: Meskipun utang tersebut secara legal tidak ditambahkan ke utang pemerintah, PMN menggunakan uang pajak (APBN). Artinya, uang publik digunakan untuk menyehatkan perusahaan, yang seharusnya mandiri.
2. Melalui Mekanisme Penjaminan Pemerintah dan Bailout
Ini adalah mekanisme yang membuat utang BUMN berubah menjadi Liabilitas Kontinjensi (potensi utang) bagi Pemerintah.
Penjaminan Pemerintah: Pemerintah dapat bertindak sebagai penjamin untuk pinjaman tertentu yang diambil oleh BUMN.
Contoh Kasus: Pinjaman luar negeri untuk proyek strategis sering kali dijamin oleh Pemerintah. Jika BUMN yang meminjam (misalnya PLN atau Pertamina) gagal bayar (default), maka pemerintah wajib melunasi kewajiban utang tersebut menggunakan dana APBN. Pada titik ini, utang BUMN secara resmi berubah menjadi utang pemerintah.
Kasus Krisis Sistemik (Bailout Perbankan):
Contoh Paling Signifikan (Krisis 1998): Dalam kasus krisis perbankan besar, khususnya yang melibatkan Bank BUMN, pemerintah sering kali terpaksa melakukan bailout. Pada krisis tahun 1998, untuk menjamin simpanan nasabah dan mencegah keruntuhan sistem, pemerintah menerbitkan Obligasi Rekapitalisasi (obligasi rekap) dalam jumlah triliunan rupiah. Obligasi ini menjadi utang pemerintah (Utang Negara) yang harus dibayar bunga dan pokoknya selama bertahun-tahun, meskipun masalah awalnya berasal dari krisis likuiditas dan utang Bank BUMN.
Intervensi untuk menyelamatkan institusi yang dianggap “Too Big to Fail” (terlalu besar untuk dibiarkan bangkrut), seperti Bank BUMN besar atau BUMN penyedia energi/listrik, selalu berisiko memindahkan beban utang korporasi ke pundak APBN.
Secara garis besar, utang BUMN yang membebani APBN terjadi bukan karena dicatat langsung sebagai Utang Negara, melainkan melalui intervensi pemerintah (PMN, Penjaminan, atau Bailout) untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada perekonomian nasional.
Jika Anda ingin berlangganan Database Saham Daily dan mendapatkan Info Saham Terkini, klik link di bawah ini:
No HP Admin Sahamdaily : 085737186163. Website: www.sahamdaily.com
Disclaimer On: Tulisan ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham tertentu. Keputusan Investasi/Trading sepenuhnya ada di tangan pembaca. Sahamdaily tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari Keputusan Investasi/Trading yang dilakukan oleh Pembaca.