Makna 996 di China & Quiet Quitting

Istilah 9-9-6 adalah sebuah budaya kerja ekstrem yang sangat populer (dan kontroversial) di industri teknologi dan perusahaan rintisan (startup) di China.
​Berikut penjelasan rincinya:
​1. Makna Angka 9-9-6
​Angka ini merujuk pada jadwal kerja yang harus dijalani oleh karyawan:
​9: Mulai bekerja jam 09.00 pagi.
​9: Selesai bekerja jam 09.00 malam.
​6: Bekerja selama 6 hari seminggu (Senin sampai Sabtu).
​Secara total, seorang karyawan yang menganut sistem ini bekerja minimal 72 jam per minggu, jauh melampaui standar hukum ketenagakerjaan di banyak negara (termasuk China sendiri) yang biasanya membatasi jam kerja maksimal 40-44 jam seminggu.
​2. Mengapa Budaya Ini Muncul?
​Persaingan Agresif: Perusahaan teknologi China (seperti Alibaba, Tencent, dan ByteDance) tumbuh sangat cepat dalam dua dekade terakhir. Untuk mengalahkan kompetitor global dan domestik, mereka menuntut kecepatan kerja yang luar biasa.
​Etos Kerja “Struggle“: Banyak pemimpin bisnis, termasuk Jack Ma (pendiri Alibaba), pernah menyebut 9-9-6 sebagai “berkah” bagi anak muda yang ingin sukses. Mereka menganggap kerja keras sebagai satu-satunya cara untuk mencapai kemakmuran ekonomi.
​3. Kritik dan Hubungan dengan “Manifesto Pasca-Neoliberal
​Budaya 9-9-6 adalah contoh nyata dari pendekatan Neoliberalisme radikal, di mana produktivitas dan pertumbuhan ekonomi diutamakan di atas kesejahteraan individu. Hal ini sangat bertentangan dengan usulan para akademisi Belanda yang kita bahas di awal, karena:
Kesehatan Mental & Fisik: 9-9-6 menyebabkan kasus kelelahan kronis (burnout), depresi, bahkan kematian mendadak karena terlalu banyak bekerja (karoshi).
​Ketimpangan Sosial: Sistem ini membuat karyawan tidak memiliki waktu untuk keluarga atau kehidupan sosial, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kelahiran di China secara drastis.

​Eksploitasi: Kritik muncul karena banyak perusahaan tidak memberikan upah lembur yang layak untuk jam kerja ekstra tersebut.

​4. Perubahan Kebijakan: “Tang Ping” (Lying Flat)
​Sebagai protes terhadap budaya 9-9-6, muncul gerakan anak muda di China yang disebut “Tang Ping” atau “Rebahan”. Mereka memilih untuk bekerja secukupnya, menolak ambisi berlebih, dan fokus pada kebahagiaan sederhana. Ini adalah bentuk pemberontakan pasif terhadap sistem ekonomi yang dianggap tidak manusiawi.

​Respon Pemerintah China:
Pada tahun 2021, Mahkamah Agung China secara resmi menyatakan bahwa praktik kerja 9-9-6 adalah ilegal karena melanggar undang-undang ketenagakerjaan mengenai jam lembur. Sejak itu, banyak perusahaan teknologi mulai melarang lembur paksa dan memperkenalkan kebijakan kerja yang lebih manusiawi.

​Ringkasan Perbandingan

Fokus Utama:

Budaya 9-9-6 => Pertumbuhan PDB & Keuntungan

Standar Pasca-Neoliberal (Eropa)=> Keseimbangan Hidup & Kesehatan

Status Hukum:

Budaya 9-9-6 => Dinyatakan Ilegal di China (2021)

Budaya 9-9-6 => Dilindungi oleh UU Tenaga Kerja

Dampak Sosial:

Budaya 9-9-6 => Kelelahan & Penurunan Kelahiran

Standar Pasca-Neoliberal (Eropa)=> Kesejahteraan & Inovasi Kreatif

Budaya ini membuktikan bahwa tanpa regulasi yang kuat, sistem ekonomi bisa menjadi sangat eksploitatif demi mengejar angka pertumbuhan.

Konsep 9-9-6 ini adalah contoh ekstrem dari ekonomi yang hanya mengejar angka pertumbuhan tanpa memikirkan keberlanjutan hidup manusianya. Meskipun 9-9-6 di China adalah yang paling ekstrem dalam beberapa tahun terakhir, fenomena kelelahan kerja akibat tuntutan ekonomi yang tinggi juga terjadi di negara-negara lain dengan karakteristik yang berbeda.
​Berikut perbandingannya:
​1. Jepang: Karoshi (Mati Karena Kerja Berlebih)
​Jepang adalah pelopor istilah kelelahan kerja di Asia. Berbeda dengan 9-9-6 yang merupakan budaya industri teknologi baru, di Jepang ini berakar pada loyalitas perusahaan yang kaku. Karoshi secara harfiah berarti “kematian karena kerja berlebih”, biasanya akibat serangan jantung atau stroke karena stres dan kurang tidur.
​Penyebab: Budaya Nomikai (minum bersama atasan setelah kerja) dan rasa sungkan untuk pulang sebelum atasan pulang.
​Solusi Pemerintah: Jepang memperkenalkan kebijakan “Premium Friday” (pulang lebih awal di hari Jumat terakhir setiap bulan) dan mewajibkan karyawan mengambil jatah cuti tahunan.

​2. Amerika Serikat: Hustle Culture & Burnout
​Di Amerika Serikat, tekanan tidak datang dari aturan jam kerja yang kaku, melainkan dari glorifikasi kesuksesan individu atau “pemujaan terhadap kesibukan”. Hustle Culture adalah pola pikir bahwa Anda harus bekerja setiap saat (24/7) untuk mencapai impian. Jika Anda tidak sibuk, Anda dianggap malas.
Gejala: Burnout (kelelahan mental total). Karyawan merasa kehilangan motivasi dan efikasi diri meskipun mereka bekerja sangat keras.
​Tren Terbaru: Munculnya fenomena “Quiet Quitting“, di mana karyawan tetap bekerja namun hanya melakukan tugas minimum sesuai deskripsi pekerjaan (tolak lembur, tolak membalas email di luar jam kerja) sebagai protes terhadap beban kerja berlebih.

​3. Korea Selatan: Gwarosa
​Mirip dengan Jepang, Korea Selatan memiliki salah satu jam kerja terlama di antara negara-negara maju (OECD). Dikenal sebagai Gwarosa. Anak muda Korea sering menyebut negara mereka sebagai “Hell Joseon” karena tekanan kompetisi yang sangat tinggi sejak bangku sekolah hingga dunia kerja.
Perubahan: Untuk mengatasi ini, pemerintah Korea Selatan sempat menurunkan batas maksimal jam kerja mingguan dari 68 jam menjadi 52 jam untuk meningkatkan kualitas hidup.

​Perbandingan Global Budaya Kerja

China=>  9-9-6 =>  Kerja 72 jam/minggu untuk kompetisi teknologi.  Status saat ini => Dinyatakan Ilegal (2021).

Jepang=> Karoshi => Kematian karena loyalitas & lembur tak berbayar. Status saat ini=> Pengetatan regulasi cuti.

Amerika=> Hustle Culture=>  Tekanan psikologis untuk selalu “sibuk” demi sukses.  Status saat ini => Gerakan Work-Life Balance & Quiet Quitting.

Korea=>  Gwarosa => Kompetisi hidup-mati sejak usia dini. Status saat ini => Batasan jam kerja 52 jam/minggu.

Hubungan dengan Ekonomi Sirkular & Kesejahteraan
​Menariknya, negara-negara yang mulai meninggalkan budaya kerja ekstrem ini cenderung lebih cepat mengadopsi prinsip Ekonomi Sirkular dan Pasca-Neoliberalisme. Mengapa?
​Efisiensi vs Kuantitas: Bekerja lebih sedikit jam namun lebih kreatif dan efisien terbukti lebih baik bagi lingkungan dan inovasi.
​Kesehatan adalah Aset: Manusia dalam ekonomi sirkular dipandang sebagai “sumber daya yang harus diregenerasi” (diberi istirahat), bukan dikuras habis seperti bahan bakar fosil.

Fenomena Quiet Quitting

Fenomena Quiet Quitting (berhenti secara diam-diam) adalah respons global, terutama dari Gen Z dan Milenial, terhadap budaya kerja ekstrem seperti 9-9-6 atau Hustle Culture. Meskipun namanya terdengar seperti mengundurkan diri, sebenarnya maknanya berbeda.
​1. Apa Itu Quiet Quitting?
​Quiet Quitting bukan berarti berhenti dari pekerjaan secara fisik. Sebaliknya, karyawan tetap bekerja namun dengan prinsip: “Hanya melakukan apa yang tertera dalam deskripsi pekerjaan, tidak lebih dan tidak kurang.”
​Tidak ada lembur sukarela: Pulang tepat waktu setiap hari.
​Batas digital: Tidak membalas email, Slack, atau WhatsApp kantor setelah jam kerja atau di akhir pekan.
​Menolak “Extra Mile“: Tidak lagi mengajukan diri untuk proyek tambahan yang tidak dibayar ekstra.
​2. Mengapa Fenomena Ini Terjadi?
​Fenomena ini muncul sebagai bentuk perlindungan diri dari eksploitasi sistem ekonomi neoliberal yang menuntut pertumbuhan tanpa batas.
​Burnout: Karyawan merasa lelah karena selama bertahun-tahun bekerja melebihi kapasitas tanpa kenaikan gaji yang sepadan dengan inflasi.
​Revaluasi Prioritas: Pandemi COVID-19 menyadarkan banyak orang bahwa hidup tidak hanya untuk bekerja. Keluarga, kesehatan mental, dan hobi menjadi lebih penting.
​Gaji Stagnan: Banyak anak muda merasa bahwa meskipun mereka bekerja 200%, mereka tetap tidak akan mampu membeli rumah atau mencapai stabilitas finansial karena faktor ekonomi makro.
​3. Perbedaan Spektrum Budaya Kerja

Fitur

Output:

Hustle Culture (9-9-6) => Maksimal (sampai lelah)

Quiet Quitting=> Sesuai Standar Minimal

Work-Life Balance => Optimal & Seimbang

Identitas:

Hustle Culture (9-9-6) =>“Saya adalah pekerjaan saya”

Quiet Quitting=> “Pekerjaan hanya untuk gaji”

Work-Life Balance => “Pekerjaan adalah bagian hidup”

Komitmen:

Hustle Culture (9-9-6) => Di atas 100%

Quiet Quitting=> Pas 100% (atau kurang)

Work-Life Balance => Fleksibel & Terukur

Risiko:

Hustle Culture (9-9-6) => Kesehatan & Depresi

Quiet Quitting=> Karier mandek

Work-Life Balance => Stabilitas mental terjaga

Quiet Quitting di Indonesia
​Di Indonesia, fenomena ini sering dikaitkan dengan istilah “Gaji UMR, Kerja UMR”. Karyawan mulai menyadari bahwa loyalitas tanpa batas kepada perusahaan sering kali tidak berbalas, terutama saat terjadi PHK massal (layoff).
​Banyak yang lebih memilih menggunakan energi sisanya untuk membangun Side Hustle (bisnis sampingan) atau belajar keterampilan baru daripada lembur gratis di kantor.
Dampak bagi Perusahaan
​Bagi perusahaan, Quiet Quitting adalah alarm bahwa ada masalah pada budaya organisasi atau sistem kompensasi.
​Penurunan Inovasi: Perusahaan kehilangan ide-ide kreatif yang biasanya muncul dari inisiatif sukarela.
​Biaya Rekrutmen: Jika perusahaan menekan karyawan lebih keras, mereka akan benar-benar mengundurkan diri (Loud Quitting), yang memicu biaya rekrutmen tinggi.

​Quiet Quitting adalah cara karyawan “meregenerasi” diri mereka sendiri di tengah sistem yang melelahkan. Ini adalah bentuk sederhana dari ekonomi kesejahteraan, di mana manusia menolak dianggap sebagai mesin produksi yang tidak punya batas lelah.

Untuk mengatasi Quiet Quitting tanpa harus kembali ke sistem kerja paksa seperti 9-9-6, perusahaan perlu melakukan pergeseran budaya dari “mengawasi jam kerja” menjadi “mengelola hasil dan kesejahteraan”.
​Berikut strategi yang bisa diterapkan oleh manajer atau pemilik bisnis:
​1. Pergeseran ke Output-Based Management
​Alih-alih memantau apakah karyawan duduk di meja selama 12 jam, manajer harus fokus pada hasil akhir.
​Kebebasan Cara Kerja: Jika tugas selesai dalam 5 jam dengan kualitas tinggi, biarkan karyawan memiliki sisa waktunya. Ini mendorong efisiensi, bukan sekadar “terlihat sibuk”.
​KPI yang Realistis: Pastikan target yang diberikan masuk akal dalam jam kerja normal (8 jam).
​2. Membangun Psychological Safety (Keamanan Psikologis)
​Banyak orang melakukan Quiet Quitting karena merasa suara mereka tidak didengar atau takut menolak tugas tambahan.
​Budaya Berkata “Tidak”: Manajer harus bisa menerima jika karyawan mengatakan, “Beban kerja saya sudah penuh, saya tidak bisa mengambil proyek ini tanpa mengorbankan kualitas tugas yang lain.”
​Apresiasi Non-Finansial: Terkadang, pengakuan atas kerja keras jauh lebih efektif daripada sekadar perintah baru.
​3. Memberikan Jalur Karier yang Jelas (Growth Path)
​Karyawan biasanya melakukan Quiet Quitting saat mereka merasa “mentok”.
​Upskilling: Berikan waktu di jam kantor bagi mereka untuk belajar keterampilan baru. Ini menunjukkan bahwa perusahaan peduli pada masa depan mereka, bukan hanya tenaga mereka hari ini.
​Kompensasi yang Adil: Jika tanggung jawab bertambah, kompensasi (gaji atau bonus) harus mengikuti. Quiet Quitting sering kali adalah bentuk protes terhadap “inflasi tanggung jawab tanpa inflasi gaji”.
​4. Penerapan Fleksibilitas (Work from Anywhere)
​Fleksibilitas adalah mata uang baru bagi milenial dan Gen Z.
​Model Hybrid: Memberikan opsi bekerja dari rumah mengurangi stres perjalanan (commuting) yang sering kali menjadi penyebab utama kelelahan sebelum sampai ke kantor.

​Perbandingan Strategi Manajemen

 

Hubungan dengan Ekonomi Pasca-Neoliberal
​Pendekatan baru ini sangat selaras dengan ekonomi kesejahteraan. Saat perusahaan memperlakukan karyawan sebagai manusia (subjek) dan bukan sekadar faktor produksi (objek), maka loyalitas akan tumbuh secara alami tanpa perlu dipaksa dengan sistem 9-9-6. Karyawan yang bahagia dan cukup istirahat terbukti jauh lebih inovatif dan jarang melakukan kesalahan kerja, yang pada akhirnya justru menguntungkan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.

Disclaimer On: Tulisan ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham tertentu. Keputusan Investasi/Trading sepenuhnya ada di tangan pembaca. Saham Daily tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari Keputusan Investasi/Trading yang dilakukan oleh Pembaca.

Jika Anda ingin berlangganan Database Saham Daily dan mendapatkan Info Saham Terkini, klik link di bawah ini:

Langganan Database Sahamdaily & Info Saham Terkini

 

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *