Pemerintah Indonesia secara resmi telah menetapkan kebijakan pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor komoditas emas. Kebijakan ini merupakan langkah strategis yang didorong oleh semangat hilirisasi dan pengelolaan sumber daya alam.
Dasar Hukum dan Penerapan
Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 80 Tahun 2025 tentang Penetapan Barang Ekspor Berupa Emas yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. PMK ini telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 17 November 2025. Aturan ini resmi diundangkan pada tanggal 9 Desember 2025. Aturan ini akan berlaku efektif 14 hari setelah tanggal diundangkan, yaitu mulai tanggal 23 Desember 2025.
Tujuan Utama Kebijakan
Tujuan utama adalah mendorong perusahaan tambang emas untuk memproses dan memurnikan emas di dalam negeri (hilirisasi) alih-alih mengekspornya dalam bentuk mentah (dore) atau setengah jadi. Dengan diwajibkannya pengolahan di dalam negeri, diharapkan nilai jual produk ekspor meningkat dan menciptakan lapangan kerja.
Menjaga Pasokan Domestik: Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan emas di dalam negeri, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri emas perhiasan dan lembaga keuangan seperti Bank Indonesia atau perbankan syariah.
Optimalisasi Penerimaan Negara: Pengenaan BK diharapkan dapat menambah penerimaan negara dari sektor non-pajak.
Besaran Tarif Bea Keluar (BK)
Tarif Bea Keluar yang dikenakan bersifat progresif (bertingkat) dan bergantung pada dua faktor: Harga Referensi Emas Dunia (ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan) dan Jenis Produk Emas yang diekspor.
Secara umum, tarif BK ditetapkan dalam rentang 7,5% hingga 15%.
Detail Tarif Berdasarkan Jenis Produk Emas
Jenis Produk Emas yang Diekspor
1. Dore (Bongkah/Ingot/Batang Tuangan, dll.)
Harga Referensi USD 2.800 s/d < USD 3.200 per Troy Ounce => dikenakan tarif 12,5%
Harga Referensi >= USD 3.200 per Troy Ounce => dikenakan tarif 15%
2. Emas/Paduan Non-Dore (Granules/Bentuk Lainnya)
Harga Referensi USD 2.800 s/d < USD 3.200 per Troy Ounce => dikenakan tarif 10%
Harga Referensi >= USD 3.200 per Troy Ounce => dikenakan tarif 12,5%
3. Emas/Paduan Non-Dore (Bongkah/Ingot/Cast Bars)
Harga Referensi USD 2.800 s/d < USD 3.200 per Troy Ounce => dikenakan tarif 7,5%
Harga Referensi >= USD 3.200 per Troy Ounce => dikenakan tarif 10%
4. Minted Bars (Emas Batangan Cetakan)
Harga Referensi USD 2.800 s/d < USD 3.200 per Troy Ounce => dikenakan tarif 7,5%
Harga Referensi >= USD 3.200 per Troy Ounce => dikenakan tarif 10%
Catatan Penting:
Semakin mentah bentuk emas (seperti Dore), semakin tinggi tarif Bea Keluarnya.
Emas Perhiasan tidak dikenakan Bea Keluar, karena dianggap sudah memiliki nilai tambah yang tinggi.
Perhitungan Bea Keluar
Bea Keluar (BK) dihitung secara advalorem (berdasarkan persentase dari nilai ekspor) dengan rumus:
Bea Keluar= Tarif BK x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor per Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uang
Penetapan harga ekspor (Harga Patokan Ekspor/HPE) akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas nama Menteri Keuangan.
Dampak Kebijakan Bea Keluar Emas
I. Dampak terhadap Harga Emas di Dalam Negeri
Kebijakan Bea Keluar ini secara teori memiliki dua dampak yang saling bertentangan terhadap harga emas di pasar domestik:
1. Dampak Jangka Pendek (Potensi Penurunan Harga)
Kewajiban hilirisasi dan tingginya BK untuk ekspor mentah memaksa produsen emas untuk menjual lebih banyak hasil produksinya di pasar domestik. Peningkatan pasokan di pasar domestik, dengan asumsi permintaan stabil, dapat memberikan tekanan ke bawah pada harga emas, terutama pada harga emas batangan non-perhiasan.
2. Dampak Jangka Panjang (Potensi Kenaikan Harga)
Bea Keluar (meskipun ditujukan untuk menahan ekspor mentah) tetap merupakan biaya tambahan bagi perusahaan. Biaya ini berpotensi dialihkan (di pass-on) ke pembeli domestik. Harga emas domestik sangat dipengaruhi oleh harga emas internasional (USD per troy ounce) dan nilai tukar Rupiah. Peran BK mungkin tidak signifikan dalam memengaruhi harga emas perhiasan atau investasi yang sudah mengacu pada harga global. Dampak utamanya adalah menjaga pasokan emas di dalam negeri. Perubahan harga jual ke konsumen akhir lebih banyak dipengaruhi oleh tren harga emas global (yang saat ini sangat tinggi) dan kurs Rupiah, dibandingkan dengan tarif Bea Keluar.
II. Dampak terhadap Perusahaan Tambang Emas
Perusahaan tambang adalah subjek langsung dari kebijakan ini, dan dampaknya sangat bergantung pada tingkat hilirisasi yang sudah mereka capai.
1. Perusahaan yang Belum/Minim Hilirisasi (Mengekspor Dore)
Perusahaan-perusahaan ini akan menderita dampak paling besar karena harus membayar tarif BK tertinggi (12,5% – 15%). Mereka akan dipaksa untuk berinvestasi dalam fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) atau mencari mitra di dalam negeri untuk mengolah produk mereka demi menghindari tarif BK yang tinggi.
2. Perusahaan yang Sudah Hilirisasi Penuh (Mengekspor Minted Bars/Casting)
Perusahaan yang sudah menghasilkan produk emas batangan murni (misalnya kadar 99,99%) akan dikenakan tarif BK yang lebih rendah (7,5% – 10%). Mereka memiliki keunggulan dibandingkan perusahaan yang masih mengekspor dore, yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing ekspor mereka di pasar internasional.
3. Dampak Umum pada Sektor Tambang
Kebijakan ini akan memicu gelombang investasi baru di sektor pemurnian emas. Penerimaan dari Bea Keluar menjadi sumber pendapatan non-pajak baru bagi pemerintah.
Perubahan Rantai Pasok: Terjadi pergeseran dari penjualan langsung ke luar negeri menjadi penjualan domestik untuk diolah atau penjualan produk akhir yang sudah dimurnikan di dalam negeri.
Secara keseluruhan, kebijakan ini adalah instrumen pemerintah untuk memaksa perubahan struktural dalam industri emas, dari eksportir bahan mentah menjadi eksportir produk bernilai tambah tinggi.
Dampak pada Perusahaan Tambang Emas Utama
Perusahaan tambang emas di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama berdasarkan tingkat hilirisasi mereka:
1. Perusahaan yang Sudah Hilirisasi Penuh (Dampak Relatif Rendah)
Perusahaan-perusahaan ini umumnya sudah memiliki fasilitas pemurnian (smelter) dan mengekspor produk dalam bentuk emas batangan murni (minted bars) atau bentuk paduan yang sudah dimurnikan (emas/paduan non-dore).
PT Freeport Indonesia (PTFI)
Status Hilirisasi = > Sangat Tinggi
Dampak Bea Keluar (BK) => PTFI, melalui Smelter Manyar (milik PT Smelting Indonesia yang sebagian sahamnya dipegang PTFI) dan Smelter Gresik (milik Amman Mineral), memproses konsentrat tembaga yang juga menghasilkan emas dore. Namun, emas dore ini dimurnikan lagi di PT Aneka Tambang (ANTAM).
PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM)
Status Hilirisasi = > Penuh
Dampak Bea Keluar (BK) => ANTAM memiliki Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLM) yang memproses emas hingga kemurnian 99,99%. Perusahaan ini berfungsi sebagai pemurni emas utama di Indonesia dan sebagian besar ekspornya dalam bentuk produk akhir.
PT J Resources Nusantara
Status Hilirisasi = > Tinggi
Dampak Bea Keluar (BK) => Tergantung pada produk akhir yang diekspor. Jika sudah dalam bentuk batangan murni, tarif yang dikenakan adalah yang terendah (7,5% – 10%).
Implikasi: Perusahaan-perusahaan ini akan dikenakan tarif BK yang relatif rendah (7,5% hingga 10%) karena mereka sudah memenuhi semangat hilirisasi pemerintah. ANTAM bahkan bisa diuntungkan karena permintaannya sebagai pemurni domestik akan meningkat.
2. Perusahaan yang Masih Mengekspor Emas Mentah (Dore) (Dampak Tinggi)
Perusahaan ini beroperasi dalam skala kecil atau menengah dan belum memiliki fasilitas pemurnian yang memadai, sehingga mengekspor produk dalam bentuk bongkah tuangan (dore), yang merupakan hasil pemisahan awal.
Perusahaan Tambang Skala Menengah/Kecil
Status Hilirisasi = >Rendah
Dampak Bea Keluar (BK) => Banyak yang masih mengekspor emas dalam bentuk dore (kadar antara 90% – 98%).
Izin Usaha Pertambangan (IUP) Generasi Awal
Status Hilirisasi = > Rendah Beberapa pemegang IUP lama masih memiliki celah kontrak untuk mengekspor dalam bentuk setengah jadi.
Implikasi: Kelompok ini akan merasakan dampak paling signifikan karena harus membayar tarif BK tertinggi (12,5% hingga 15%).
Reaksi yang Dipaksakan: Perusahaan-perusahaan ini memiliki tiga pilihan:
Membayar tarif BK tinggi (mengurangi profitabilitas).
Menghentikan ekspor dan menjual dore mereka kepada pemurni domestik (seperti ANTAM).
Berinvestasi atau bermitra untuk membangun fasilitas pemurnian mereka sendiri.
Inti Dampak: Kebijakan BK adalah alat paksa bagi perusahaan yang belum melakukan hilirisasi untuk segera menjual produknya di pasar domestik atau berinvestasi pada fasilitas pemurnian, sesuai dengan tujuan utama pemerintah.
Disclaimer On: Tulisan ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham tertentu. Keputusan Investasi/Trading sepenuhnya ada di tangan pembaca. Saham Daily tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari Keputusan Investasi/Trading yang dilakukan oleh Pembaca.
Jika Anda ingin berlangganan Database Saham Daily dan mendapatkan Info Saham Terkini, klik link di bawah ini: