Penghentian produksi oleh beberapa pabrik smelter nikel asal Tiongkok di Indonesia, terjadi pada PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI), PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), sebagian besar disebabkan oleh kombinasi faktor ekonomi dan pasar.
Berikut adalah beberapa alasan utama:
Penurunan Harga Nikel Global yang Drastis: Ini adalah penyebab paling signifikan. Harga nikel di pasar global telah mengalami penurunan yang tajam dalam beberapa waktu terakhir. Penurunan harga ini membuat operasi smelter, terutama yang menghasilkan produk nikel pig iron (NPI) atau feronikel, menjadi tidak menguntungkan karena biaya produksi menjadi lebih tinggi daripada harga jual. Smelter-smelter ini berjuang dengan penurunan margin keuntungan.
Oversupply (Kelebihan Pasokan) Nikel: Produksi nikel global, khususnya dari Indonesia, telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Ini menciptakan kondisi oversupply di pasar, yang semakin menekan harga. Smelter-smelter di Indonesia, termasuk yang berafiliasi dengan Tiongkok, menjadi korban dari kondisi pasar yang jenuh ini.
Biaya Operasional yang Meningkat: Selain penurunan harga nikel, smelter juga menghadapi kenaikan biaya operasional di Indonesia, seperti:
Kenaikan harga bahan bakar: Kenaikan harga biodiesel (misalnya B40) dapat membebani biaya energi smelter.
Tarif royalti minerba dan pajak pertambangan nilai (PPN): Kebijakan pemerintah terkait royalti dan pajak bisa menambah beban biaya.
Biaya listrik yang mahal: Beberapa smelter juga menghadapi tantangan biaya listrik.
Kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) oleh Tiongkok: Tiongkok telah memperpanjang bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap produk baja nirkarat (stainless steel) dari Indonesia. Mengingat sebagian besar ekspor NPI dan feronikel dari Indonesia ditujukan ke Tiongkok sebagai bahan baku baja nirkarat, perpanjangan BMAD ini berdampak langsung pada daya saing produk nikel Indonesia di pasar Tiongkok. Hal ini membuat tujuan ekspor utama menjadi kurang menarik, sehingga menekan produksi di smelter.
Perlambatan Ekonomi Tiongkok dan Stagnasi Permintaan: Perlambatan ekonomi di Tiongkok juga menekan permintaan domestik untuk produk-produk hilir nikel, termasuk baja nirkarat. Hal ini berimbas pada permintaan bahan baku dari smelter di Indonesia.
Efisiensi Kapasitas dan Transisi (khusus beberapa smelter): Beberapa smelter, seperti VDNI, juga dilaporkan melakukan penghentian produksi karena efisiensi kapasitas atau transisi ke teknologi pemrosesan yang berbeda, misalnya ke smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang menghasilkan produk nikel sulfat untuk baterai kendaraan listrik.
Dampak dari Penghentian Produksi Ini:
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): Penghentian atau pengurangan produksi seringkali diikuti dengan pengurangan jumlah karyawan, yang menyebabkan PHK.
Kerugian Finansial: Perusahaan smelter mengalami kerugian finansial akibat operasi yang tidak menguntungkan.
Ancaman Terhadap Hilirisasi Nikel: Jika kondisi ini berlanjut, program hilirisasi nikel Indonesia bisa terancam, terutama bagi smelter yang fokus pada NPI/feronikel.
Perlunya Diversifikasi Pasar: Pemerintah dan pelaku industri didorong untuk mencari pasar ekspor baru di luar Tiongkok (misalnya India, Turki, Uni Emirat Arab, dan Afrika) dan juga melanjutkan hilirisasi ke produk nikel antara (intermediate) hingga barang-barang utilitas baja nirkarat.
Singkatnya, penghentian produksi ini merupakan respons logis dari perusahaan terhadap kondisi pasar yang tidak menguntungkan, di mana harga jual tidak mampu menutupi biaya produksi, diperparah dengan kebijakan perdagangan dan perlambatan ekonomi.
Pelemahan harga Nikel sejak tahun 2022-pertengahan 2025
Pelemahan harga nikel dari tahun 2022 hingga pertengahan 2025 merupakan salah satu cerita paling dramatis di pasar komoditas. Dari puncaknya yang luar biasa, nikel jatuh ke level terendah dalam beberapa tahun, didorong oleh ketidakseimbangan pasokan dan permintaan yang ekstrem.
2022: Puncak Harga dan Awal Mula Ketidakpastian
Tahun 2022 sebenarnya dibuka dengan harga nikel yang sangat kuat. Bahkan, pada Maret 2022, harga nikel di London Metal Exchange (LME) sempat melonjak drastis hingga menyentuh level tertinggi di atas US$ 100.000 per ton dalam peristiwa “nickel short squeeze” yang legendaris, memaksa LME menghentikan perdagangan dan membatalkan transaksi. Meskipun harga kemudian dinormalisasi, rata-rata harga nikel sepanjang 2022 tetap kuat di kisaran US$ 26.023,72 per ton, dengan level terendah di sekitar US$ 19.212 per ton.
Kenaikan harga ini sebagian besar didorong oleh:
Kekhawatiran Pasokan: Konflik geopolitik (invasi Rusia ke Ukraina) dan sanksi terhadap produsen besar Rusia memicu kekhawatiran pasokan.
Permintaan Baterai EV: Prospek pertumbuhan permintaan dari sektor kendaraan listrik (EV) yang membutuhkan nikel kelas tinggi memberikan sentimen positif.
Permintaan Kuat dari Tiongkok: Ekonomi Tiongkok yang masih relatif kuat di awal tahun menopang permintaan industri baja nirkarat.
Namun, di akhir 2022, sinyal-sinyal kelebihan pasokan mulai muncul, terutama dari Indonesia. Indonesia, dengan kebijakan hilirisasi yang agresif, mulai menunjukkan peningkatan produksi nikel yang signifikan.
2023: Awal Mula Penurunan Tajam
Tahun 2023 menjadi tahun di mana harga nikel mulai benar-benar anjlok. Dari level di atas US$ 30.000 per ton pada awal tahun, harga terus merosot. Rata-rata harga nikel di tahun 2023 turun drastis sekitar 15,3% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi sekitar *US$ 21.688 per ton*. Bahkan, pada November 2023, harga nikel domestik Indonesia mencatat rekor terendah dalam setahun. Penyebab utama penurunan ini adalah:
Lonjakan Produksi Indonesia: Indonesia menjadi pendorong utama kelebihan pasokan global. Investasi besar-besaran dari Tiongkok di fasilitas peleburan (smelter) nikel pig iron (NPI) dan feronikel di Indonesia menghasilkan volume produksi yang belum pernah terjadi sebelumnya. APNI (Asosiasi Penambang Nikel Indonesia) mencatat bahwa produksi nikel nasional mencapai sekitar 1,9 juta metrik ton pada 2023, menyebabkan surplus di pasar global.
Kelebihan Pasokan Global (Oversupply): Peningkatan produksi dari Indonesia jauh melampaui pertumbuhan permintaan, menciptakan kondisi surplus pasar yang parah. Pada 2023, surplus nikel global diperkirakan mencapai sekitar 223 ribu metrik ton.
Permintaan Lesu dari Tiongkok: Perlambatan ekonomi Tiongkok dan tantangan di sektor properti dan manufaktur berdampak langsung pada permintaan baja nirkarat, konsumen terbesar nikel.
Biaya Produksi Luar Negeri yang Tinggi: Produsen nikel di luar Indonesia kesulitan bersaing karena biaya produksi yang lebih tinggi dan harga nikel yang terus menurun.
2024: Harga Terjun Bebas dan Krisis Smelter
Penurunan harga nikel semakin intens di tahun 2024. Harga di LME anjlok ke level terendah dalam empat tahun, bahkan sempat menyentuh di bawah US$ 15.000 per ton pada beberapa waktu. Pada penutupan 20 Desember 2024, harga nikel berada di US$ 15.356 per ton.
Faktor-faktor yang memperparah kondisi ini meliputi:
Surplus yang Memburuk: Surplus pasokan global terus membesar. Prediksi pasar menunjukkan bahwa surplus nikel primer global bisa mencapai 128.000 ton pada 2024.
Tekanan Terhadap Smelter: Harga yang sangat rendah membuat banyak smelter, terutama yang memproduksi NPI/feronikel, beroperasi di bawah biaya produksi mereka. Ini menyebabkan beberapa smelter Tiongkok di Indonesia menghentikan atau mengurangi produksinya, seperti PT GNI, PT HNAI, PT ITSS, dan PT VDNI.
Perpanjangan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD): Tiongkok memperpanjang BMAD terhadap baja nirkarat dari Indonesia, mempersulit ekspor produk hilir dan menekan harga bahan bakunya (nikel olahan).
Kebijakan Kuota Produksi: Meskipun ada wacana dan upaya dari pemerintah Indonesia untuk memangkas kuota produksi bijih nikel (misalnya dari 240 juta menjadi 200 juta metrik ton untuk 2025), dampaknya belum terlihat signifikan di tahun 2024 karena suplai yang sudah terlanjur membanjiri pasar.
2025: Fluktuasi di Level Rendah dan Harapan Terbatas
Memasuki tahun 2025, harga nikel masih menunjukkan fluktuasi di level yang sangat rendah, sekitar US$ 15.000 – US$ 16.000 per ton di LME pada paruh pertama tahun ini. Harga Mineral Acuan (HMA) Nikel untuk periode kedua Juni 2025 bahkan turun menjadi US$  15.221 per ton.
Meskipun ada prediksi dari beberapa pihak bahwa harga bisa naik kembali (misalnya menjadi US$20.000 per ton pada Februari 2025 oleh CEO Canada Nickel Corp, Mark Selby), sentimen pasar masih didominasi oleh kekhawatiran surplus.
Penyebab kelanjutan tekanan harga di 2025:
Surplus Berkelanjutan: Meskipun ada upaya pemangkasan kuota produksi, efeknya baru akan terasa secara bertahap. Pasar masih memperkirakan surplus nikel global yang signifikan di tahun 2025.
Permintaan yang Belum Pulih Penuh: Pemulihan ekonomi global, terutama di Tiongkok, masih belum cukup kuat untuk menyerap kelebihan pasokan nikel yang ada.
Pergeseran Fokus: Ada harapan bahwa peningkatan permintaan dari sektor baterai kendaraan listrik (yang membutuhkan nikel sulfat) dapat menopang harga di masa depan. Namun, transisi dari NPI/feronikel ke nikel sulfat membutuhkan waktu dan investasi, dan segmen nikel sulfat sendiri juga sempat mengalami penurunan harga.
Secara garis besar, history pelemahan harga nikel dari tahun 2022 hingga 2025 adalah cerminan langsung dari lonjakan pasokan nikel global yang masif, terutama dari Indonesia, yang jauh melampaui pertumbuhan permintaan global yang melambat. Dominasi produksi NPI/feronikel di Indonesia dan ketergantungan pada permintaan Tiongkok menjadi faktor kunci dalam membentuk tren harga yang menekan ini, memaksa industri untuk beradaptasi dengan kondisi pasar yang baru dan lebih menantang.
Dampak Pelemahan Harga Nikel Terhadap Ekonomi Indonesia
Pelemahan harga nikel yang berkepanjangan dari tahun 2022 hingga pertengahan 2025 tentu saja memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia, mengingat posisi Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Dampaknya bisa dilihat dari berbagai sisi:
1. Tekanan pada Pendapatan Negara dan Devisa
Penurunan harga komoditas utama seperti nikel berpotensi mengurangi penerimaan negara dari sektor pertambangan, termasuk royalti dan pajak. Meskipun volume ekspor nikel Indonesia meningkat, nilai ekspor secara keseluruhan mungkin tidak tumbuh secepat yang diharapkan atau bahkan bisa menurun, yang berdampak pada cadangan devisa.
2. Profitabilitas Industri Smelter Tertekan
Seperti yang sudah kita bahas, banyak pabrik smelter (terutama yang memproduksi nikel pig iron/feronikel) menghadapi tekanan berat. Dengan harga nikel yang rendah, margin keuntungan mereka menipis drastis, bahkan bisa rugi. Ini bisa menyebabkan:
Pengurangan Produksi: Beberapa smelter mungkin terpaksa mengurangi kapasitas produksi atau bahkan menghentikannya sementara.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): Untuk mengurangi biaya operasional, perusahaan bisa melakukan efisiensi tenaga kerja, yang berujung pada PHK massal. Ini tentu berdampak pada tingkat pengangguran dan daya beli masyarakat di daerah operasional smelter.
Penundaan Investasi Baru: Investor mungkin menunda atau membatalkan rencana pembangunan smelter baru atau ekspansi fasilitas jika prospek harga nikel tetap suram.
3. Tantangan pada Program Hilirisasi
Program hilirisasi nikel adalah salah satu andalan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah komoditas. Namun, dengan harga nikel yang anjlok, keberlanjutan dan profitabilitas program ini bisa terancam, terutama untuk produk-produk nikel dasar seperti NPI.
Fokus Bergeser: Ada tekanan untuk lebih cepat beralih ke produksi nikel sulfat dan prekursor baterai, yang memiliki nilai lebih tinggi dan permintaan yang lebih stabil dari industri kendaraan listrik. Namun, transisi ini membutuhkan investasi besar dan teknologi yang kompleks.
Persaingan Global: Indonesia harus lebih strategis dalam memposisikan diri di pasar nikel global, terutama untuk produk baterai, di tengah persaingan dari negara lain dan pengembangan teknologi baterai non-nikel.
4. Dampak pada Sektor Lain
Meskipun tidak langsung, penurunan harga nikel juga bisa berdampak pada sektor-sektor terkait:
Logistik dan Jasa Pendukung: Penurunan aktivitas smelter berarti berkurangnya permintaan untuk jasa transportasi, konstruksi, dan penyedia logistik di sekitar kawasan industri.
Perbankan: Bank-bank yang memberikan pinjaman kepada perusahaan nikel atau proyek smelter mungkin menghadapi risiko kredit macet jika perusahaan-perusahaan tersebut kesulitan membayar utang.
5. Peluang untuk Diversifikasi Pasar dan Produk
Di sisi lain, tekanan harga ini juga mendorong Indonesia untuk:
Mencari Pasar Baru: Tidak lagi terlalu bergantung pada pasar Tiongkok untuk ekspor nikel, Indonesia didorong untuk mencari pembeli di negara-negara lain seperti India, Uni Eropa, atau Amerika Serikat.
Diversifikasi Produk: Mempercepat pengembangan produk nikel bernilai tambah tinggi, bukan hanya NPI/feronikel, tetapi juga nikel matte, nikel sulfat, hingga komponen baterai dan bahkan baterai utuh.
Secara keseluruhan, pelemahan harga nikel menyoroti kerentanan ekonomi Indonesia terhadap fluktuasi harga komoditas global. Ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan pelaku industri untuk terus mendorong hilirisasi yang lebih mendalam, diversifikasi ekonomi, dan penguatan fundamental industri agar lebih tahan banting terhadap gejolak pasar di masa depan.
Jika Anda ingin berlangganan Database Saham Daily dan mendapatkan Info Saham Terkini, klik link di bawah ini:
No HP Admin Sahamdaily : 085737186163. Website: www.sahamdaily.com